Cahaya Yang Tersenyum (Mengenang Saudaraku Ust. H.M. Nurhuda Trisula)

Oleh: Hadi Mulyadi

Sabtu itu terasa kelabu dalam hidupku
Engkau mendahului meninggalkanku
Mendahuluiku untuk menjalani fase kehidupan baru
Kehidupan baru seorang mujahid untuk bertemu Kekasihmu

Aku berusaha tegar menghadapi semua itu
Kusimpan dalam-dalam tangis dan sedihku
Tapi tetap aku tak sanggup dan lepas dalam haru-biru

Sekarang tinggal kenangan
Lebih dua puluh tahun kita berteman
Suka dan duka kita lewati dengan penuh kesan
Hal yang tidak pernah kulupakan
Kesungguhanmu dalam memikirkan segala urusan

Keteguhanmu mengalahkan gunung yang tertancap kuat di bumi
Kekuatan ‘azzammu mengalahkan kuatnya biji besi yang menjadi baja
Ketulusanmu mengalahkan tiupan angin dengan segala kelembutan dan kekuatannya
Panjangnya amalmu mengalahkan panjangnya aliran air yang mengalir dari mata air di gunung hinggga ke samudra lautan

Pohon yang kau tanam
Dua puluh tahun yang lalu
Kini sudah mulai berbunga, mekar dan harum
Sudah memulai berbuah memberi manfaat bagi ummat dan masyarakat

Pohon itu tidak akan pernah mati
Dia akan terus memberi manfaat
Dan akan menjadi buah bagi orang lain di dunia dan menjadi kiriman bagimu di akhirat

Saudaraku Nurhuda
Sesuai dengan namamu
Kau selalu menjadi cahaya bagi sesama
Dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus

Engkau bagai Matahari yang selalu memberi cahaya kebenaran
Bagai bulan yang menerangi dengan kelembutan
Bagai embun yang tak henti meneteskan air
Bagai api yang tak henti menyala

Kau telah membawa cahaya dan petunjuk
Aku dan semua saudaramu akan menyimpan baik-baik cahaya itu
Dan akan kami tebarkan ke penjuru dunia
Untuk menerangi yang gelap

Sekarang kami tahu
Bahwa kau sedang tersenyum bersama Kekasihmu…Rasulullah
Tersenyum melihat bunga dan buah yang kau tanam
Tersenyumlah selalu…
Sampai aku menyusulmu dengan senyum pula…

Garuda, Balikpapan-Jakarta, 31 Januari 2012

Detik Perjalanan Abadi (1)

Bagian “Karakter ‘Arkanul Bai’at”

Semua yang mengenal Ustadz Nurhuda Trisula pasti sangat tahu bagaimana karakternya dalam da’wah, akhlaknya dengan sesama dan prinsipnya dalam hidup. Bahkan saat almarhum dalam keadaan sakit menahun pun, karakter, akhlak dan prinsip itu tak ikut luntur menghilang bersama lemah fisiknya. Bahkan di akhir-akhir hayatnya, beliau masih tetap meneladankan keseriusan dan pengorbanan fisik dan pikirannya kepada da’wah yang tiada terkira.

Dalam bulan-bulan terakhir, beberapa kali aku mendengar curhat dari beliau langsung tentang kegusaran istrinya akibat “keras-kepala” nya. Bagaimana Mba Win melarang untuk mengurangi aktifitas beliau, karena tanda-tanda stroke kedua yang kemungkinan mendekat. Sampai-sampai Mba Win pernah sms -sebagai bentuk gugatan kasih sayang- kepada beliau dan beliau ceritakan kepadaku; “aku telah menjadi istri yang gagal karena tidak mampu melarang suami untuk istirahat”. Beliau tidak pernah menanggapi dengan melankolis.

Ikhwah di DPW juga sering menutup-nutupi jadwal rapat demi keinginan seluruh ikhwah untuk tidak melibatkan beliau, karena melihat kondisi fisik beliau. Tapi beliau selalu menemukan cara dengan mencari tahu jadwal rapat dan memaksa ikut, memberikan kontribusi pemikiran dan solusi paling banyak dan paling sering mengarahkan seluruh ikhwah tentang langkah-langkah yang harus diambil berkaitan dengan strategi da’wah.

Hari Rabu, empat hari sebelum beliau tak sadarkan diri, aku masih di rumahnya dari jam 7 pagi hingga jam setengah 12. Aku masih membuat bahan presentasi untuk disampaikan beliau kepada BPH DPW. Diantara wajah letih beliau, beliau masih mau mendengarkan paparanku. Di sela-sela paparanku, beliau sempat berkata; “akh, saya lihat antum seperti berputar-putar badannya lho”. Aku langsung kaget dan menghentikan pembicaraan. Kataku; “Ustadz, kita stop dulu ya. Besok bisa kita lanjutkan. Antum istirahat dulu”. Tapi dengan tegas beliau mengatakan; “Tidak usah akh. Antum lanjutkan saja. Saya bisa mendengarkan sambil berbaring”.

Setengah jam kemudian, saat aku masih menjelaskan, beliau memotong dengan muka gusar; “akh, tangan saya dan kaki saya sebelah kanan tidak bisa digerakkan nih. Dari kemarin seperti ini”. Aku langsung cemas dan berkata; “Ustadz, kita stop dulu ya”. Beliau menjawab dengan tersenyum; “Tidak usah. Selesaikan saja. Santai akh”. Aku membatin, bagaimana bisa aku santai mendengar kondisinya. Akhirnya aku percepat presentasi dan mengcopy bahan presentasi itu ke flashdisk beliau. Saat aku diam begitu lama, sambil berbaring beliau berkata; “Akh, dua hari ini saya mengalami disorientasi. Jadi, saya bangun pagi dan tiba-tiba bingung mau ngapain. Saya bisa mengalami kebingungan hingga berjam-jam. Kata dokter, kalau kita disorientasi seperti itu, biasanya mau stroke yang kedua lho, dan itu alamat delapan puluh persen saya wafat”.

Beliau berkata seperti itu tanpa beban. Tanpa ketakutan. Tetap tenang dan sambil tertawa !. Aku saja yang mendengarnya begitu cemas. Waktu aku pulang, aku sempat berpesan; “syaikh, kalau boleh nyaranin, sebaiknya banyak istirahat”. Dan aku yakin, pesanku tak akan digubrisnya. Karena dia sudah menjadwalkan akan ke DPW seharian ini, ke Bontang esok harinya, ke DPP pada hari Jum’at dan ke Jakarta lagi untuk mengatarkan Adzkiya pada hari Ahad. Begitulah beliau dengan keteguhan dan sikap tak mau dikasihani-nya. Jika beliau bisa melakukan sendiri, buat apa minta bantuan yang lain katanya.

Kenangan tentang keteguhan beliau kerja keras beliau hingga wafat di jalan Allah juga di rasakan oleh sahabat-sahabat dekatnya. Ustadz Haris pernah jalan berdua bersamaku waktu ada acara Partai di Jakarta setahun yang lalu. Dan beliau dengan sangat gamblang menceritakan tentang Ustadz Nurhuda; “antum harus contoh Ustadz Nurhuda akh. Tentang obsesinya dalam da’wah, tentang komitmennya yang tiada pernah patah. Jangan pernah menyerah dengan masalah-masalah”. Kata-katanya membuatku tersenyum malu.

Saat aku bertandang ke rumah seorang ustadz yang sealmamater dengan beliau, setengah tahun lalu, Ustadz tersebut menceritakan bahwa dengan keteladanan akhlaknya, Ustadz Nurhuda menjadi orang yang bisa menengahi berbagai masalah di kalangan ikhwah di berbagai daerah. Saat ada konflik dan perbedaan pendapat, beliaulah orang yang didepan dua kelompok yang berselisih tersebut yang bisa menyatukan pandangan-pandangan ekstrim dan merangkumnya dalam sikap moderat dialiri kasih sayang dan persaudaraan

Orangtua Bang Icha, Ustadz Andre dan seluruh keluarganya, telah menganggap Ustadz Nurhuda adalah bagian dari anak dan saudaranya, karena mereka sangat lama berinteraksi dan memetik kebaikan, ketulusan, kasih sayang dan kuatnya ikatan persaudaraan dari Ustadz Nurhuda saat-saat da’wah ini di buka di Kalimantan Timur, dimana Bang Icha dan Ustadz Nurhuda berjibaku untuk pertamakali.

Beberapa saat setelah wafatnya Ustadz Nurhuda, saat Ustadz Zainal Haq masuk ke ruangan ICU sekitar pukul tujuh bersama Ustadz Hadi Mulyadi, beliau dengan suara terbata-bata menahan tangis menegaskan bahwa Ustadz Nurhuda adalah orang yang paling layak diteladani oleh seluruh ikhwah. Saat Ustadz Hadi Mulyadi memberi kata sambutan tentang kebaikan-kebaikan almarhum, beliau mengatakan, ; “Semua yang pernah mengenal almarhum, pasti kagum dengan kesungguhannya pada da’wah dan jama’ah. Dan harus diakui bahwa beliaulah yang merintis da’wah di Kalimantan, dan dengan segala kesungguhannya, kita menjadi orang-orang yang berdiri di jama’ah ini”.

Beberapa kali Ustadz Masykur juga pernah mengeluh kepadaku tentang Ustadz Nurhuda; “Memang akh, kalau mau belajar politik da’wah dan strateginya kita harus belajar kepada Ustadz Nurhuda. Tapi ya itu akh, semua mau dipikirkan dengan sangat serius. Beliau selalu ingin terlibat dan meng-eksekusi keputusan besar jama’ah. Padahal kan kita kasihan sama fisiknya. Takut ada apa-apa”. Di lain waktu, saat pidato pelepasan jenazah, beliau juga menegaskan bahwa; “semua ikhwah yang ada di Kalimantan, terutama Kalimantan Timur adalah murid-muridnya. Karena sebab almarhum dan izin Allah-lah, saya dan seluruh ikhwah mendapatkan hidayah Allah. Saya akui bahwa saya murid almarhum. Semua murid almarhum. Satu hal yang wajib kita lakukan adalah mencontoh semua kebaikannya”.

“Almarhum adalah ‘Arkanul Bai’at yang berjalan di antara kita. Kita tidak pernah meragukan pengorbanannya dalam da’wah ini. Kita begitu mengagumi keikhlasannya dalam jalan da’wah ini. Waktu menjadi anggota DPRD, beliau sampai memberikan duapertiga pendapatannya untuk da’wah dan sepertiganya untuk keluarga. Itupun masih terpotong untuk aktivitas da’wah sehari-hari. Bahkan almarhum pernah bercerita kepada saya bahwa almarhum hanya menyisahkan limaratus ribu untuk Bu Win dan anak-anak. Betapa kita sulit menemukan orang-orang seperti beliau. Kita wajib mengikuti jejak beliau, meneladani dan meneruskan apa yang menjadi cita-cita beliau”.

Begitulah beliau di mata sahabat dan kawan seiring perjuangan. Aku sendiri telah banyak menulis kenangan indah baik saat kami berdua mengunjungi kota lain, duduk berdua, atau bersama-sama saudaraku yang lain. Kurangkum sebagian kenanganku dalam sebuah tulisan pesan nan indah di hatiku. Dan sebagian kutuliskan untuk saudaraku yang lain, di “Penakluk Ribuan Hati”.

28 Januari 2012

Detik Perjalanan Abadi (2)

Bagian: “Waktu Perpisahan”

Aku akan menceritakan hari dan detik terakhir per-pisah-an beliau dengan kita semua; saudara-saudara terdekatnya. Aku merasa punya kewajiban menceritakan hari-hari terakhirnya, karena secara fisik, akulah orang yang paling dekat dengan almarhum di detik-detik keberangkatan menuju perjalanan abadi.

Kamis, 26 Januari pukul 18.00

Aku mendapat telpon dari Ust. Bambang Sutrisno, bahwa Ust. Nurhuda Trisula berada dalam kondisi kritis. Bersama Ustadz Masykur, beliau juga mengabarkan akan ke RS. Siloam. Aku menyambut dengan berinisiatif bersama akh Riawan menyewa mobil dan berangkat ke Balikpapan.

Di perjalanan, aku masih berdo’a dan berharap kesembuhan beliau, karena hari Ahad (22/1/2012) saat aku bersama Ust. Masykur menginap menjaga beliau, setelah bersama-sama pulang dari Jakarta, Ust. Nurhuda masih bisa batuk, menggerakkan tangan dan masih merespon kaki-nya waktu kami berdua membersihkan badannya dibantu seorang suster. Walaupun memang, tingkat kesadarannya hanya sekitar 3 sampai 4 dari skala 1 sampai 15.

Saat hari Ahad itu, kami berdua, aku dan Ust. Masykur cukup lama masuk ke dalam ruangan, Ust. Masykur sempat berkata dan mencandai Ust. Nurhuda; “Pak Nur, ayo bangun, cepetan sehat, ada saya sama BP nih”. Aku ketawa dan menangis bersamaan.

Kamis, 26 Januari, Pukul 20.30

Aku bersama Ust. Masykur, Ust. Bambang Sutrisno dikumpulkan oleh Dokter Damayanti. Kata-kata yang kuingat adalah; “Bapak-Bapak, kami dari jajaran RS. Siloam, mau menyampaikan agar semua keluarga bersiap-siap. Kami akan maksimal membantu Pak Nurhuda, dengan sekuat kemampuan kami”. Ustadz Masykur menekankan bahwa kami diberi keleluasan waktu menjenguk, terutama pada saat kritis. Dokter mengiyakan. Dalam catatanku, Ustadz Nurhuda mengalami masa kritis hingga 7 kali.

Jum’at, 27 Januari, pukul 10.50

Aku menerima sms dobel dari dua handphone istriku. Kata-katanya kutampilkan utuh;

“Td malam umi mimpi ketemu pak nur yah, beliau sehat,trus bagi2 apa gitu…semua yg liat kaget.. 😦 “.

Aku menganggap itu hanya bentuk rasa kangen istriku dan kami sekeluarga kepada beliau. Aku juga sering bermimpi duduk berdua dengan beliau di sebuah taman. Tapi itu kuanggap biasa.

Jum’at 27 Januari 2012. pukul 17.00

Aku mendapati belasan ummahat berkumpul di ruang tunggu. Kulihat juga Ustadz-ustadz masyaikh da’wah Kaltim berkumpul. Ustadz Hadi, Ustadz Zainal, Ustadz Haris, Ustadz Icha, Ustadz Syukri, Ustadz Hasanuddin dan lainnya. Semua bercerita panjang lebar tentang kisah masa lalu. Semua seperti ingin memberikan ucapan perpisahan.

Jum’at 27 Januari 2012. pukul 22.00

Dokter memeriksa Ust. Nurhuda. Kata dokter, keadaanya baik dan stabil. Kami semua lega. Semua ustadz bergiliran pamit pulang.

Jum’at 27 Januari 2012. pukul 23.00

Ust. Masykur Sarmian, Ust. Bambang Sutrisno, aku dan tiga orang ikhwah Kepanduan turun ke ruang lobby. Di luar kaca ruangan kulihat, ikhwah Kepanduan hilir mudik masuk Rumah Sakit. Jumlahnya puluhan orang. Tumben sebanyak ini, dalam hatiku. Kami yang di lobby sempat menonton berita buruh yang memblokir jalan tol. Aku menyempatkan membaca buku dan tilawah QS Al-Imron.

Sabtu, 28 Januari, pukul 2.00

Ust. Bambang Sutrisno gelisah dan bangun menuju mushola. Aku masih berbaring dengan gelisah.

Sabtu, 28 Januari, pukul 3.00

Ust. Masykur juga gelisah dan bangun untuk qiyam. Beliau sempat mengajakku, tapi aku bilang, aku qiyamullail jam 4 saja, sekalian melanjutkan Subuh baru tidur di Mushola.

Sabtu, 28 Januari, pukul 3.45

Aku menuju mushola Rumah Sakit di lantai 1 dan mendapati Ust. Masykur sholat. Bacaan dikeraskan tapi terdengar tidak tenang. Beberapa kali beliau terbata-bata melafalkan ayat-ayat Allah. Aku mendengar penuturannya di depan Ustadz Haris dan Bang Icha sekitar jam 8 kurang di pagi wafat almarhum, bahwa saat qiyam, beliau seperti mendengar gemuruh guntur dan angin kencang bersahutan.

Setelah qiyam, beliau berbaring setengah tertidur sambil menunggu waktu subuh.

Sabtu, 28 Januari, pukul 4.10

Aku tafakkur duduk di Mushola, seorang al-akh anggota Kepanduan dari Balikpapan membangunkan Ust. Masykur. Aku larang, karena aku tahu beliau letih.

Al-akh itu mengatakan; Ust. Nurhuda kritis. Aku meloncat, lari ke lift. Aku pesan; tolong ceritakan semua ke Ust. Masykur. Aku duluan menuju ruang ICU

Sabtu, 28 Januari, pukul 4.13

Di ruangan, seorang perawat sudah duduk di atas bangsal dan memompa jantung Ust. Nurhuda.

Aku masuk di antara barisan 5 perawat yang mengelilingi. Ust. Bambang Sutrisno sudah duluan berdiri dan menangis membaca talqin. Ust. Masykur masuk 5 menit kemudian. Akh Sandy Ardian menunggu di ruang sela ICU. Kami semua membaca talqin. Bersahut-sahutan.

Sabtu, 28 Januari, pukul 4.32

Detak jantung sudah berkisar 47 dan 48. Tiga kali jantungnya berhenti. Berganti-ganti perawat naik ke pembaringan dan memompa jantung Ust. Nurhuda. Mereka sungguh-sungguh berjuang.

Aku pegang kaki Ust. Nurhuda. Dingin. Aku setengah memaksa meminta perawat yang berdiri dekat kepala untuk pindah.

Kupeluk kepalanya dan kubacakan talqin tak pernah berhenti. Aku menangis keras. Ust. Masykur melarangku. “Jangan menangis. Teruslah membaca talqin” katanya. Tapi beliau menangis juga. Beliau mengeraskan juga bacaan talqin.

Sabtu, 28 Januari, pukul 4.44

Di monitor, detak jantung sudah berkisar 33. Catatan monitor jantung sudah tidak berdetak. Hilang dan muncul hingga tiga kali. Dokter memberikan suntikan pemacu jantung. Beliau saqaratul maut. Aku bacakan talqin keras-keras di telinganya. Ust. Masykur masih menggosok-gosok kaki beliau. Harapan masih menggumpal.

Sabtu, 28 Januari, pukul 4.45

Dokter berhenti setelah melihat monitor. Print out catatan terakhir alat vitalnya di lihat. Sambil melihat kami bertiga, dokter mengucapkan “Innalillah..”. Dan seterusnya aku tak mendengar lagi. Yang kudengar hanya hening. Aku peluk beliau begitu erat. Airmataku menetes di pipinya. Kubisikkan kata-kata terakhir; “selamat jalan syaikh. Selamat jalan ya mujahid”

Aku peluk almarhum begitu lama. Kucium keningnya. Wajahnya tenang. Almarhum tidur seperti bayi.

Berganti kemudian Ust. Masykur dan Ust. Bambang Sutrisno mencium beliau. Langit gelap di mata.

Ust. Masykur menyuruh aku menunggui almarhum. Beliau mengabarkan kepada saudara yang lain. Ust. Umar Farouk mengatur ikhwah yang berjaga dan bergiliran sholat subuh. Beliau juga mengatur penjemputan Mba Win.

Aku sendirian di ruangan. Dokter Eva menemuiku. Meminta opsi apakah diperbolehkan membersihkan selang, alat bantu dan membersihkan popok. Aku mengiyakan. Aku katakan, tolong auratnya tetap tertutup. Aku akan bantu mengganti popoknya. Biarlah ia terhormat seperti hidupnya. Wajahnya bersih. Aku menangis. Berkali-kali kucium dahi dan kubersihkan sisa-sisa kulitnya yang mengelupas di telinga.

Dokter memintaku mencarikan kain yang bisa dipakai untuk menutupi badan almarhum. Aku minta akh Sandi mengambil sarungnya dan sarungku. Semoga sarung kami menjadi penutup terindah almarhum

Sabtu, 28 Januari, pukul 5.15

Istri almarhum datang. Ibunda beliau hanya tertahan di pintu luar ruang ICU. Anaknya yang tersayang telah pergi mendahului. Ia begitu berat berdiri. Wanita shalihah berumur 82 tahun yang melahirkan sosok teladan ini hanya menangis sesenggukan.

Dengan menangis, Mba Win mencium dahi dan memeluk cukup lama. Kata-kata yang aku ingat; “Selamat jalan ya bi. Ilaa liqo”. Melepasnya dan menyeka air mata.

Tak pernah kulihat ketegaran sebesar itu untuk sebuah kehilangan separuh jiwa. Ia mungkin seperti sosok seorang mujahidah da’wah abad ini yang ketika mendengar suaminya ditembak, ia berkata; “alhamdulillah, ia sudah bersenang-senang di syurga-Nya”.

Kami sholat subuh dalam hening dan tangis. Kulihat dua perempuan karang itu berpelukan. Aku menangis. Ust. Masykur menangis. Semua yang ada di mushola menangis.

Setelah shalat, kami merapatkan tempat pemakaman, menjemput Adzkiya dan Naufal. Kulihat wajah almarhum melekat di keduanya. Ya Allah, betapa berat cobaan keponakanku.

Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.05

Ustadz Hadi Mulyadi datang bersama Ustadz Zainal Haq. Ustadz Hadi memeluk Ustadz Masykur. Mereka berdua menangis. Ustadz Zainal berdiri di samping almarhum. Beliau dengan bergetar dan terbata-bata menangis berkata. Kemungkinan, kata-katanya seperti ini; “kalau ingin melihat seorang mujahid teladan, lihatlah orang ini”. Beliau tak tahan untuk tak menangis.

Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.17

Setelah keputusan final mengebumikan almarhum di Samarinda, jenazah dibawa ke parkiran belakang. Kami berebut ingin mengangkat ke tandu. Di parkiran berkumpul puluhan kader Balikpapan. Ustadz Masykur dan Ustadz Hadi bergantian memberi kata sambutan sebelum keberangkatan menuju Samarinda.

Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.23

Aku di tugaskan menemani almarhum di mobil ambulans. Aku mendampingi sopir ambulans menuju Samarinda. Kulihat wajah empat anggota Kepanduan yang duduk di kanan kiri jenazah almarhum. Mereka bersedih tapi gurat kebanggaan terlihat jelas di muka mereka. Mereka bangga karena mengiringi perjalanan seorang shalih yang banyak memberi pengaruh pada alam jiwa nan tangguh di hidup mereka

Sabtu 28 Januari 2012 pukul 9.50

Hujan mengguyur saat mobil masuk ke Samarinda. Akh Karjono dan Akh Teguh Widodo menjemput di sekitaran Samarinda Seberang. Ikhwah Samarinda telah mempersiapkan penyambutan di rumah almarhum. Siapa yang tidak berbangga menyambut dan menyiapkan perjalanan seorang mujahid?.

Detik-detik menuju jalan depan rumahnya adalah detik penuh haru. Waktu jenazah dibuka, aku katakan bahwa jenazahnya hanya ditutupi jarik. Tolong jaga kehormatannya kataku. Beberapa al-akh berteriak “Allahu Akbar”. Allah Maha Besar kasih sayangnya pada almarhum.

Sabtu 28 Januari 2012 antara pukul
10.30-18.17

Prosesi memandikan, mengkafani dan shalat jana’iz di lakukan. Beberapa saudara terdekatnya memandikan. Semua ingin mengambil bagian dalam semua prosesi. Inilah bentuk cinta kami. Inilah bentuk cinta kami.

Beberapa koleganya datang. Tokoh-tokoh politik juga datang. Beberapa berbisik tentang kebaikan hidupnya. Siapa yang tidak terpesona dengan keteguhan, kelembutan dan kebaikannya?. Ia disegani sekaligus disayangi orang-orang. Semua orang merasa dekat.

Ikhwah berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan unsur Wilda dan DPP juga datang dengan antusias. Ikhwah yang berdiam di Masjid Darul Falihin bergerombol dan mengenang almarhum. Sebagian terisak, sebagian menyembab, sebagian menceritakan kisah-kisah lucu bersama almarhum.

Saat Shalat Jana’iz di lakukan, kulihat sepintas di belakang. Semua berdiri dengan gurat kesedihan dan kebanggaan beraduk-aduk.

Saat sambutan keberangkatan dari Ustadz Masykur, aku mendengar gemuruh tangis.

Semua ikhwah, ibu dan anak-anak berjalan beriring mengantarkan almarhum ke kuburnya. Di hati mereka pasti terbesit pertanyaan; “akan seperti apakah kami saat menghadap Illahi?. Syahidkanlah kami ya Allah, syahidkanlah kami semua ya Allah”.

Selamat jalan guru, kakak, ayahanda, saudara kami tersayang; Ustadz Nurhuda Trisula. Engkau telah membuktikan janjimu pada Allah. Sekarang giliran kami. Ilaa liqo.

Allahu Akbar !.

28-29 Januari 2012

Penakluk Ribuan Hati (4)

Bagian 4. Bekal Masa Depan

Dalam hal keteladanan dan kesungguhan berda’wah, beliau juga pernah memberikan nasihat-nasihat gemintang. Nasihat yang aku ingat antara lain adalah “keteladaan di dalam jama’ah”. Bagi beliau, seorang al-akh agar bisa dipercaya, ia harus menunjukkan kualitas keimanan, profesionalitas kerja dan keutamaan dalam persaudaraan. Jika memungkinkan, ibadah yaumiah kita dipelihara dengan shalat berjama’ah dengan paling awal datangnya, juga menjaga ibadah-ibadah sunnah. Berusahalah menjadi ikhwah yang paling merdu dan bagus bacaaan tilawahnya. Begitu juga dalam rapat-rapat da’wah. Berusahalah untuk datang paling awal, berusahalah untuk menampilkan data paling lengkap atas sebuah masalah, paling menguasai problem dan solusi tapi mampu membahasakan dengan bahasa yang sederhana, lugas, ilmiah tapi tetap lembut.

Nasihat yang lainnya yang juga akan menjadi bekal perjalananku adalah nasihat tentang “skala prioritas”. Bagi beliau, da’wah adalah prioritas. Dan semua urusan da’wah dimulai dengan beresnya seorang al-akh akan rutinitas nya menghadiri halaqoh. Seberat apapun pekerjaan seorang ikhwah, sesulit apapun tantangan hidupnya dan sesibuk apapun aktivitas kehidupannya, semua harus menghadiri halaqoh. Tarbiyah adalah pangkal da’wah dan tiada tarbiyah tanpa pertemuan. Beliau dengan berkaca-kaca di selimuti kecewa pernah bercerita tentang seorang ikhwah pejabat publik yang begitu sibuknya aktivitasnya hingga tiga pekan tak menghadiri halaqoh.

Beliau menceritakan tentang teladan komitmen dalam da’wah dan jama’ah dengan menceritakaan kisah Ustadz Hilmi Aminuddin. “Antum tahu bagaimana sibuknya Ustadz Hilmi. Sibuknya melebihi SBY, karena jadwal beliau yang begitu padat, menghadiri rapat, menerima kunjungan, memberikan taujih atau melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu waktu, saat Ustadz Hilmi berkunjung ke sebuah daerah di Indonesia Timur yang direncanakan harus di hadiri selama dua hari, pada hari pertama setelah kunjungannya, tiba-tiba Ustadz Hilmi membeli tiket pulang ke Jakarta, dan datang lagi keesokan harinya. Saat ikhwah dari daerah itu bertanya kenapa Ustadz Hilmi menyempatkan pulang lalu kembali lagi, Ustadz Hilmi menjawab bahwa ada kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Kesibukan itu, kata Ustadz Hilmi; menghadiri halaqoh”.

Menurut beliau juga, ada beberapa prioritas yang harus dikerjakan oleh setiap ikhwah. Prioritas itu memiliki binaan halaqoh, mempelajari bahasa arab dan inggris, menguasai teknologi sosial media dan membagus kan (tahsin) bacaan qur’an. Bagi beliau, membina halaqoh adalah syarat kedewasaan seorang ikhwah. Ia menjadi prasyarat utama bagi seorang ikhwah untuk mendapatkan amanah da’wah yang lebih besar dari sebelumnya. Bagi beliau juga, seorang ikhwah harus mempelajari bahasa arab dan inggris atau bahasa internasional lain. Karena, zaman telah berubah, da’wah telah menyebar ke seluruh dunia, dan hubungan dan jarak menjadi kabur. Ikhwah bisa dengan leluasa pergi atau berkunjung ke negara lain. Interaksi antar bangsa menjadi sesuatu yang jamak. Dan bahasa adalah pokok awal komunikasi.

Begitu inginnya beliau mempelajari bahasa arab dan inggris, dengan keterbatasan dan kesibukan beliau, beliau tetap menyempatkan diri untuk mengikuti kursus bahasa arab setiap senin hingga jum’at. Beliau juga mewajibkan istrinya untuk belajar bahasa arab. Di detik lain, beliau bercerita tentang pentingnya membaguskan bacaan qur’an. Beliau memandang bahwa masyarakat umum adalah masyarakat yang masih begitu hormat dengan siapapun yang menguasai hapalan Al-Qur’an dan memperdengarkannya dengan sangat bagus. Jika ikhwah bisa membaguskan bacaan qur’an, maka masyarakat akan tsiqoh dan percaya pada kader da’wah. Selain memperbagus bacaan qur’an, tak lupa beliau sampaikan tentang pentingnya ikhwah menguasai teknologi dan media sosial. Bagi beliau, media sosial bisa menjadi alat untuk mengkomunikasikan secara efektif pikiran-pikiran jama’ah tentang perbaikan masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi alat yang mengkebiri dan menghancurkan nama baik jama’ah, karena itu, kita wajib mengantisipasi dan menjaganya.

Nasihat lain yang tergurat di hatiku adalah nasihat tentang “pandangan yang benar tentang posisi dan peran”. Bagi beliau, seorang ikhwah yang benar, adalah ikhwah yang senantiasa memproduksi semangat untuk berperan besar dalam da’wah dan bukan semangat menggebu mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya. Kata beliau, ada semacam pergeseran yang mewabah di kalangan masyarakat, bahwa masyarakat mulai di hinggapi jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab bagi masa depan. Ikhwah harusnya menegaskan sebaliknya. Ikhwah harus seperti kata Ustadz Hilmi dan peribahasa arab yang dikutipnya; “kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban”. Mengokohlah kita dalam bentuk kitab yang bermanfaat walau tanpa judul. Tapi, jangan sekalipun kita menjadi insan yang memiliki judul tapi tanpa kitab. Beliau menegaskan berkali-kali, bahwa jabatan itu tak penting dalam dunia da’wah. Yang paling penting adalah kontribusi. Maka sungguh biasa sekali peristiwa pencopotan Panglima Khalid oleh Khalifah Umar, karena dengan tanpa jabatan panglima-pun seorang Khalid tetap menjadi prajurit dengan beribu obsesi meninggalkan bumi.

Di lain kesempatan, beliau menceritakan kepadaku tentang betapa tak pentingnya pandangan manusia dan ikhwah pada umumnya tentang amal seorang ikhwah. Beliau begitu masygul jika ada ikhwah yang masih mengharapkan pujian saat melakukan kerja-kerja da’wah. Karena beliau teringat akan cerita di zaman Rasulullah, dimana ada seorang sahabat yang tak di kenal di kalangan manusia, tapi senantiasa menjadi pembicaraan penduduk langit bernama Uwais Al Qarny. Sahabat Rasulullah itu senantiasa beribadah dengan khusyu’ dan sembunyi-bunyi, tak pernah lelah memberikan kontribusi menggunung tinggi walaupun tiada siapapun yang memuji. Maka benarlah Rasulullah yang menjadi inspirasi guruku yang bersabda; “sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)”.

Nasihat lainnya yang juga membuatku terjerembab dalam rasa malu yang bertubi-tubi adalah nasihat tentang; “istiqomah dan pantang menyerah”. Nasihat itu beliau berikan terkhusus buatku. Saat aku mendapatkan masalah bertubi-tubi yang menyebabkan aku tak begitu semangat menghadiri halaqoh atau kegiatan jama’ah lainnya, beliau terhitung lima atau enam kali bercerita kepadaku tentang kisah nyata pada saat beliau menjadi Ketua Umum Masjid di STAN.

“Dulu, waktu saya menjadi Ketua Umum Masjid di STAN, di kalangan dosen dan mahasiswa, ada dua organisasi yang mendominasi dan sangat disegani di kampus saya. Dua organisasi itu adalah Mapala (organisasi pecinta alam) dan Masjid STAN. Setiap tahunnya, dua organisasi ini bersaing untuk berebut pengaruh di pemilihan BEM STAN. Di antara kedua organisasi ini, ada semacam persaingan diam-diam. Suatu waktu, di sebuah kota, diadakanlah lomba lintas kota. Kalau tak salah Lomba Lintas Kerawang-Bekasi, semacam lomba menapaki perjalanan pejuang di antara dua kota, dengan berjalan kaki. Saya berpikir, bahwa inilah saatnya untuk “menundukkan” anak-anak Mapala. Maka saya mencari ikhwah yang mau dan mampu mengikuti lomba itu. Saya menemukan seorang al-akh yang mau, dan kebetulan, al-akh yang menjadi relawan ini adalah penggemar olahraga kepecinta-alaman. Maka, pada hari H kegiatan, ikhwah itu mengikuti lomba tersebut. Anak-anak Mapala menurunkan timnya yang terdiri dari lima atau sepuluh orang”.

“Saat lomba dilaksanakan, kami menunggu dengan cemas hasilnya. Dan saat yang dinantikan itu akhirnya tiba. Tak disangka oleh semuanya, al-akh itu menang di posisi pertama atau kedua. Hasil itu benar-benar menghebohkan seluruh kampus, karena disamping dia bukan berasal dari organisasi pecinta alam, ternyata juga, banyak organisasi pecinta alam yang tak sampai di finish karena jauhnya jarak perjalanan. Atau masuk ke finish di urutan belakang. Saya penasaran dengan al-akh itu, kenapa ia bisa masuk finish dan menjadi juara perlombaan. Waktu saya tanya rahasianya, al-akh itu menjawab dengan jawaban penuh makna; perjalanan lomba itu memang begitu jauh dan tak kelihatan ujungnya. Dan karena jauh itu, al-akh itu mensiasatinya dengan memastikan dua hal. Yang pertama, ia memastikan bahwa ritme kakinya harus selalu stabil dan konstan, dengan senantiasa memperhatikan jarak langkah kaki. Yang kedua, ia memastikan bahwa selangkah di depannya tak ada lubang atau halangan lain. Ia tak pernah melihat jalan membentang di depan mata. Ia hanya fokus melihat gerakan langkah kaki dan jalan di depan kakinya”.

Ada peristiwa lain yang aku alami bersama beliau yang menjadi renungan bagiku tentang sifat pantang menyerahnya. Tahun 2010 akhir, saat aku mengikuti kemah kader, aku kebetulan mengikuti dan bergabung menjadi satu kelompok bersama beliau. Dalam sesi permainan perebutan bendera antar kelompok, aku mendapati bahwa beliau termasuk orang yang paling “ngotot”. Di akhir acara, saat kami harus menempuh long march sebagai sesi wajib bagi peserta, beliau memaksa ikut kepada panitia. Padahal jarak perjalanan yang harus kami lalui sepanjang empat puluh kilo meter. Beliau sempat mengeluh sakit dan terseok-seok. Waktu itu, beliau sudah mengalami stroke yang pertama, dan salah satu telapak kakinya baru sembuh usai operasi karena tulangnya patah. Tapi beliau begitu mengagumkan. Karena beliau menikmati longmarch itu dengan melontarkan guyonan, cerita-cerita dan senyuman di sepanjang jalan. Berkali-kali aku menyarankan untuk istirahat, tapi beliau menolaknya. Bahkan wajahnya kadang membesi jika di larang.

Begitulah beliau dan kesan yang mengindah di hatiku tentang pribadi beliau. Aku yakin, banyak ikhwah yang mendapatkan kesan berbeda tentang beliau. Tapi buhulnya pasti hanya satu; keteladanan da’wah. Beliau salah satu generasi mujahid da’wah yang dengan izin Allah dan melalui perantaranya-lah, lahir ribuan jiwa-jiwa tangguh yang memakmurkan bumi Allah di Indonesia dan Kalimantan Timur dengan kalimat kebenaran dan kedamaian hati. Melalui perantara kata-kata beliau pula-lah, banyak hati terpesona, takluk, tergugah, bangkit dan merapat berbaris di jama’ah da’wah.

Tubuhnya mungkin begitu lelah dan menyenja. Tapi hati dan jiwanya seperti pedang terhunus yang tetap mengkilat di medan laga. Dan sekali lagi, setiap orang yang pernah mengenalnya atau bertutur sapa dengannya pasti akan mendapatkan kesan yang sama; nasihat kehidupan yang begitu dalam dan komitmen di jalan kebenaran yang tidak tergoyahkan. Dan aku tak mau hidup hanya untuk jadi pengenang kebaikan beliau, lalu menulisnya hanya di prasasti hati banyak manusia. Tapi aku sungguh ber ‘azzam untuk berdiri demi melihat jiwanya, mengaguminya, menaburkan benih ketulusan yang beliau miliki di hati banyak pejuang lalu berusaha sekuat tenaga mengikuti jejaknya, menjadi pengganti peran-peran mulianya; membangun peradaban.

Hari-hari ini, aku banyak melafalkan do’a. Do’a yang kulantunkan dengan tangis di penghujung malam; “Allahummasyfi Li Ustadz Nurhuda Trisula, Allahummanshurhu warhamhu wabarik lahu ya Allah. Antas syaafi Laa syifaa’an illaa syifaa’uka syifaa’an Laa yughadiru saqama. Bismillahi nawakkalna alaLLahi laa haula walaa quwwata ilaa biLlahi. Amiin”.

Ya Illahi, izinkanlah muassis tangguh itu hadir kembali membersamai kami yang belia ini.

16.01.2012

Penakluk Ribuan Hati (3)

Bagian 3. Nasihat Tak Terlupakan

Ada juga beberapa nasihat yang membekas darinya yang mengabadi dalam buku catatan hatiku. Nasihat yang senantiasa menjadi bunga pengantar mimpi tentang kedamaian, keluhuran akhlak, dan kesungguhan yang meninggi. Ia, nasehat-nasehat itu, menjelma menjadi bisikan-bisikan menggema yang membersamai langkah kaki. Ia senantiasa menjadi tetulisan yang mencercah di cakrawala saat aku duduk dan berdiri dalam sepi perenungan.

Nasihat pertama yang begitu membekas di hatiku adalah nasihat tentang “Itsar”. Suatu waktu, aku bertengkar hebat dengan seorang al-akh. Pertengkarannya mungkin terbilang sederhana. Masalah anak muda pada umumnya. Tapi tidak bagi beliau. Saat aku adukan masalah pertengkaran ini, beliau berkata dengan raut muka yang mengeras; “akhi, jika ada dua orang saudara yang bertengkar, maka hanya ada dua kemungkinan; hati salah satunya bermasalah, atau hati keduanya bermasalah”. Aku terduduk diam mendengar kata-katanya. Hujan deras mengguyur di dalam hati. Perasaan “aku benar dan dia salah” yang sebelumnya menghinggapi hatiku, berubah menjadi keternaifan yang teramat sangat.

Lain waktu, saat aku menceritakan bahwa dadaku merasa sesak, walaupun telah mendahului meminta maaf kepada seorang al-akh yang telah aku perselisihi, beliau mengutarakan kata-kata indah yang beliau ambil dari nasihat seorang ulama; “akhi, saudara yang lurus memandang pada saudaranya lebih utama dari pada dirinya sendiri”. Di lain waktu, beliau mengutip kata-kata yang menenang-membekas dari seorang ulama juga; “akhi, ukhuwah itu saudara seiring keimanan, sedangkan perpecahan adalah saudara kembar kekufuran. Kekuatan ukhuwah adalah kekuatan persatuan; tidak ada persatuan tanpa cinta kasih; minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan maksimalnya adalah itsar. Itsar itu mementingkan orang lain dari diri sendiri”.

Lain waktu, beliau menceritakan apa itu itsar. Di depan seorang masyaikh da’wah senior yang sekarang pindah ke Sulawesi Selatan, beliau pernah menangis. Betapa beliau tak tahan menjadi anggota legislatif dan ingin menjadi “aktivis tarbiyah”. Menikmati hari-hari mengisi halaqoh, dauroh atau pelatihan peningkatan kapasitas kader da’wah. Beliau ingin menyerahkan urusan legislatif kepada al-akh yang lain dan ingin berkonsentrasi penuh pada penataan manajemen di partai yang beliau rasa masih lemah. Sayangnya, keinginan beliau tidak diaminkan oleh jama’ah. Beliau tetap berlapang dada dan bersemangat dengan amanah-amanah dan perintah jama’ah.

Nasihat kedua yang selalu aku ingat adalah nasihat bagaimana “mengukur kejujuran”. Beliau punya standar untuk mengukur kejujuran dan kebajikan orang. Ajaibnya, standar yang beliau pakai selalu menyandarkan pada riwayat salafushalih. Kata beliau suatu waktu; “Akhi, jika engkau ingin mengetahui kebenaran dan ketulusan seseorang dalam sebuah masalah, terutama tentang agama-nya, maka lihatlah subuhnya. Jika ia merutinkan diri berjama’aah di subuh hari di masjid jami’, maka ia orang yang terang sanubari-nya. Karena jama’ah di subuh hari bagi Nabi, para sahabat dan ulama adaalah tolok ukur kejujuran atau kemunafikan.

Nasihat ketiga yang begitu membekas buatku adalah nasihat tentang “cara berpikir atas sebuah masalah”. Sangat sering beliau menyatakan dengan senyum tulus; “Akhi, seorang da’i itu harus luas wawasannya, terang fikirannya dan mengangkasa visi dan citanya. Bacalah banyak buku. Dari berbagai disiplin ilmu. Hingga setidaknya antum menguasai apa yang menjadi topik dan pembicaraan intelektual, aktivis dan masyarakat. Banyaklah berdiskusi dan pimpinlah opini. Islam bisa di menangkan karena gagasan dan narasinya merajai kepala dan hati manusia. Tapi satu yang perlu diingat. Asah keahlian terbaikmu. Ikhwah juga jangan sampai hanya menjadi jack of all trades, but master of none. Hanya banyak tahu tapi tidak ahli apapun”.

Beliau melanjutkan dengan cerita tentang masyaikh da’wah. “Dulu, Ustadz Anis Matta senantiasa merutinkan diri untuk membaca buku minimal tiga buku dalam sehari. Saat beliau ingin mendalami tentang sesuatu, beliau senantiasa mendisiplinkan diri untuk membaca buku-buku yang berisi bidang dan pengetahuan yang ingin beliau pelajari. Pernah, beliau membaca literatur berbahasa arab selama dua tahun, dan menghindari bahasa lain, karena ingin sempurna penguasaannya tentang bahasa arab. Begitu juga ilmu-ilmu lain. Outputnya sekarang terlihat jelas. Beliau menjadi sosok yang secara keilmuan, di atas rata-rata ikhwah kebanyakan”.

Nasehat keempat yang sangat membekas adalah tentang “keberanian dan obsesi da’wah”. Di sela-sela pengajian, beliau banyak bercerita tentang masa lalunya, aktivitasnya dan impian masa depan. Suatu waktu, beliau pernah bercerita; “Akhi, waktu SD dulu, saya akui saya teramat sangat nakal. Terhitung setiap hari pasti berkelahi. Almarhum ayah saya selalu menanyakan jika saya menangis dan pulang ke rumah?. Diapain, tanya ayah saya. Kalau saya bilang dipukul teman, ayah saya pasti akan menyahut; balas dong. Jadi orang harus berani. Begitulah ayah saya akh, selalu mengajarkan tentang keberanian menghadapi siapapun. Karena itu pula, saya kemudian mempelajari Karate hingga ban hitam. Kelak, mental berani itu sangat saya rasakan pentingnya untuk membela da’wah. Saya pernah membentak seorang Jenderal pada saat Pilgub 2003, karena cara berpikirnya yang salah dalam strategi pemenangan dan berpotensi membuat kalah calon yang diusung jama’ah. Saya tidak takut akh. Karena kita berjuang di barisan kebenaran. Seorang mujahid harus berani dan pantang menyerah”.

Lain waktu, beliau bercerita tentang masa kecilnya ketika SMP hingga lulus kuliah. “Akhi, waktu saya SMP, setelah mengalami masa-masa bengal di SD, saya mulai banyak merenung tentang kehidupan. Saya mulai keranjingan membaca buku. Bahkan saya menyukai buku-buku atheis yang mempertanyakan eksistensi Tuhan. Sebagai bentuk dialektika dalam diri saya, saya sampai meninggalkan sholat. Tapi tak lama kemudian, hidayah Allah datang. Sekitar kelas tiga SMP saya mulai bersentuhan dengan kegiatan masjid dan da’wah islam. Saya mulai masuk PII dan mengisi pengajian, padahal waktu itu belum mengerti yang namanya halaqoh. Tapi memang di PII (Pelajar Islam Indonesia), ada semacam tata aturan pendidikan kader seperti halaqoh. Saya mengalami fase pencarian pola da’wah dan gerakan yang sesuai itu hingga kuliah di STAN. Pada saat di STAN itulah, saya menjadi sangat serius berda’wah, mulai menjadi aktivis masjid hingga menjadi Ketua Umum da’wah masjid di STAN”.

“Dalam puncak keseriusan saya di da’wah dan harokah, saya sampai pernah memegang halaqoh hingga enam belas halaqoh. Jadi saya bagi waktu dalam sepekan untuk mengisi enam belas kelompok binaan. Ohya, kelompok usar saya juga gabungan dari berbagai mas’ul da’wah kampus di Jakarta dan sekitarnya. Ada ketua BEM atau Ketua Masjid dari ITB, UI, IKIP Jakarta, hingga IPB. Masing-masing sibuk dengan kegiatan da’wah di kampusnya. Karena murobbi saya adalah penanggungjawab da’wah yang membawahi da’wah di beberapa negara, kami sering melakukan liqo mandiri. Terlecut oleh kesibukan murobbi kami, kami juga mulai melakukan rencana-rencana membina halaqoh di seluruh Jawa dan Sumatera. Jadi setiap akhir pekan, mulai Jum’at hingga Ahad, kami naik kereta dan bus, ada yang ke Lampung, ada yang ke Jawa Timur atau daerah lain di luar Jakarta, untuk merekrut atau membuka kelompok baru di kalangan SMA lalu kemudian kembali lagi ke Jakarta pada Sabtu sore atau Ahad pagi. Antum bisa bayangkan bagaimana cara kami mengatur waktu antara kuliah, menjadi aktivis masjid atau BEM, membina halaqoh, membuka kelompok halaqoh baru hingga mengelola amanah-amanah kelompok baru dari hasil rekrutan kami”.

“Obsesi-obsesi itu tetap saya pelihara hingga lulus kuliah. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Kalimantan Timur, saya melapor ke murobbi saya almarhum Rahmat Abdullah. Beliau bertanya kepada saya tentang apa obsesi yang akan saya kerjakan di ladang da’wah baru di Kaltim. Dan saya menjawab tegas. Beri saya waktu setahun dan saya akan berikan dua puluh lima kader da’wah, begitu janji saya. Dan saat waktu yang dijanjikan tiba, saya telah persembahkan enampuluh kader dari Kaltim, Kalsel dan Kalteng”.

Lain waktu juga beliau juga bercerita tentang obsesi yang pernah beliau capai. “Akhi, dulu waktu kami aktif di kegiatan masjid di STAN, dan saya menjadi Ketua Umumnya, kami mengalami kendala dengan dana operasional masjid. Berhubung ikhwah pada saat itu juga kesulitan dalam hal keuangan maka saya mencoba mencari terobosan. Pada saat itu, mahasiswa di STAN, selain di gaji, juga mendapatkan beras dari pemerintah. Kalau tidak salah 15 kg setiap bulan. Maka saya umumkan kepada seluruh ikhwah untuk menyumbangkan berasnya untuk kemudian dijual di Pasar Senen oleh ikhwah yang kita amanahi untuk menjual. Ikhwah yang saya beri amanah untuk menjual itu, saya tekankan untuk mengelola bisnis penjualan beras secara profesional. Sejak saat itu, keuangan masjid tidak pernah seret lagi, dan tercatat di masa saya, masjid kampus STAN banyak melakukan kegiatan gemilang dengan dana mandiri dan sangat melimpah”.

15.01.2012

Penakluk Ribuan Hati (2)

Bagian 2. Cerita Ketulusan Cinta

Ada beberapa peristiwa yang membuat hubunganku dengan beliau begitu erat. Hingga kini. Peristiwa pertama tentu saja tentang perhatian. Seolah-olah beliau ingin menjelaskan dengan sikapnya, bahwa wujud nyata cinta seorang al-akh adalah perhatian. Kadang-kadang, perhatian yang diberikan tak selalu berupa tutur kata manis. Kadang justru marah yang keras-menyala. Seperti perhatian beliau kepadaku. Beliau memang terkenal keras atas prinsip yang dipegangnya. Tapi selalu lembut saat harus menerjemahkan prinsipnya kepada para belia mujahid da’wah yang meminta nasihatnya. Tapi sepertinya perlakuan itu tidak berlaku bagiku. Beliau mengajarkan keteguhan, pun ketika aku pada saat itu sedang terhimpit. Walaupun ajaran tentang keteguhan itu di selubungi rasa marah.

Marah yang pertama terjadi saat aku meminta ijin bekerja di lembaga riba. Marah yang kedua saat aku mengikuti proyek riset yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga riset dan harus meninggalkan pengajian selama dua bulan. Alasanku cuma karena uang dan pengalaman. Dan beliau begitu masygul karena jiwa mujahid tangguh harusnya bisa melewati cobaan kecil seperti itu. Peristiwa pertama reda, karena aku tak lagi melanjutkan tawaran pekerjaan itu. Peristiwa kedua bener-benar membuatnya meledak, karena aku bersikukuh menjalaninya. Lalu aku kembali setelah dua bulan itu. Tapi hatinya digores luka. Aku tak pernah memaafkan keras-kepalaku sejak saat itu.

Peristiwa kedua adalah pengorbanan. Waktu itu tahun 2005, dua tahun setelah kelulusanku. Dan aku sedang di hinggapi euforia kelulusan kuliah. Umurku baru dua puluh dua jalan dua puluh tiga saat lulus S1. Tahun 2005 aku menganggap diriku masih terlalu muda. Aku telah menanamkan mimpi jauh-jauh hari bahwa ketika aku lulus, aku akan leluasa dan merdeka mengeksplorasi gagasan gerakan di KAMMI dan di jalanan tiap hari. Tapi peristiwa berat menimpaku. Ayahku meninggal dunia di usia lima puluhan. Hari pertama aku mendengar kabar itu, aku begitu limbung. Berkali-kali aku hampir pingsan.

Orang pertama yang kuhubungi adalah beliau. Dengan segera, beliau menyuruhku ke rumahnya. Sesampai di rumah, beliau telah sediakan sejumlah uang untuk membeli tiket buatku dan sesegera mungkin mengurus pemakaman ayahku. Aku betul-betul menangis terharu. Dua tahun setelah itu, saat aku mulai mendapatkan penghasilan mengerjakan proyek-proyek riset, aku mencoba mengganti uang beliau. Beliau dengan tegas menampiknya. “Biarkan menjadi pemberat timbangan kebaikan saya”, jawabnya singkat.

Tapi yang paling penting adalah hari-hari setelah itu. Beliau sangat memperhatikan aktivitas dan tumbuh-kembangku. Selain mengarahkan kerja dan aktivitas sesuai potensiku, beliau juga menyemangatiku untuk mengasah kemampuan menulis, melanjutkan S2, menjadi pengusaha, peneliti atau dosen. Sekali waktu, saat air mataku mengambang di pelupuk mengingat ayahandaku, beliau menceritakan panjang lebar tentang ayahanda-nya yang aktivis partai, yang lalu muak dengan politik, mendekat pada Allah, dan melarang anaknya masuk partai, tapi lalu berbangga karena anaknya menjadi aktivis partai da’wah.

Aku menimpalinya dengan cerita yang serupa; “Alhamdulillah syaikh, cerita ayahanda kita berdua kurang lebih sama. Ayahanda saya dulu seorang aktivis partai orba, yang muak dengan kebusukan politik lalu menemukan jalan hidayah. Sempat masuk di Jama’ah Tabligh, tapi lalu melihat jalan terang dan (kembali) berkecimpung di partai da’wah. Di PKS, almarhum sempat mengaji dan menjadi penasehat DPC di kampung. Menyumbangkan dua kursi dari dapil di kampung dari total empat kursi”. “Alhamdulillah, semoga pengorbanan orangtua kita menjadi pahala yang bisa dibanggakan di Yaumul Hisab” timpal beliau menguatkan kami berdua.

Peristiwa ketiga adalah penumbuhan. Peristiwa ini terjadi saat beliau diamanahi untuk mengumpulkan dana sumbangan bagi perjuangan rakyat Palestina. Sehari sebelumnya aku masih bertegur-sapa dengannya. Tapi, malam itu aku mendengar khabar mengejutkan !. Beliau terserang stroke !. Beliau tak sadarkan diri. Menurut cerita beberapa ikhwah, dua harian memang beliau tak beristirahat karena menyiapkan acara tersebut di tambah urusan kedewanan. Waktu itu beliau memang anggota legislatif DPRD Kaltim.

Kalau urusan menjadi wakil rakyat, beliau tak perlu diragukan. Karena leadershipnya diakui oleh semua koleganya. Bahkan beliau terkenal sebagai salah satu diantara beberapa macan Karang Paci. Tapi sekali lagi, kerendah-hatian beliau begitu mempesona. Dulu, waktu ada proyek pembuatan buku “Bukan di Negeri Dongeng” untuk menceritakan ke publik tentang kejujuran, keberanian dan ketulusan aleg-aleg PKS se-Nusantara, beliau sempat mendapat tawaran untuk diceritakan kisah perjuangannya dan ditulis di buku itu. Tapi dengan halus, beliau menolaknya, walaupun kemudian tetap di tulis kisahnya. Rupanya, beliau teringat kalimat peringatan dari seorang shalih; “keterkenalan bagi seorang da’i adalah ujian. Yang akan menguatkan atau menggelincirkan”.

Kesibukan di da’wah dan politik yang tumpuk-menumpuk itulah yang melelahkan fisik dan pikiran beliau. Saat hendak mengambil air wudhu untuk qiyam, beliau jatuh tak sadarkan diri. Aku begitu terpukul. Sungguh-sungguh terpukul. Karena jauh di dalam hatiku aku merasa bahwa aku masih begitu kekanakan. Belum juga kokoh berdiri sebagai seorang dewasa. Tapi sepertinya sakit beliau berupa stroke dan terapi penyembuhannya yang menahun waktu itu menjadi pelecut asa bagiku, bahwa aku harus segera mendewasakan diri. Harus dewasa. Harus kuat memikul beban. Harus kuat.

Peristiwa keempat adalah perawatan. Tahun 2008 dan 2009 adalah masa-masa sulit buatku. Saat-saat aku jatuh karena beberapa hal. Karena kredibilitas publik, karena bisnis dan hal lainnya. Karena peristiwa yang melantakkan integritas ku. Aku juga sempat kehilangan pekerjaan rutinku. Aku benar-benar limbung waktu itu. Sungguh teramat limbung. Suatu waktu, ketika aku terlalu memikirkan begitu dalam masalah-masalahku, aku mengalami kecelakaan di jalan raya yang sangat parah. Semua akhirnya bisa menebak. Orang yang pertama kukhabari adalah beliau.

Dan selang sehari setelah kukhabari, beliau mengunjungiku. Ia datang bersama saudaraku tersayang yang lain. Sebagian masalahku hilang saat aku melihat senyum iba dan beribu ketulusan dari beliau. Beliau mengulangi kata-kata yang sering diucapkannya kepadaku; “Ada hamba-hamba Allah bukan nabi, bukan syuhada namun “disamakan” oleh para nabi dan syuhada dihadapan Allah”.

Beliau melanjutkan dengan menceritakan hadits riwayat Ahmad. Bahwa orang yang di samakan dengan para nabi dan syuhada itu adalah “mereka orang-orang yang saling mencintai dengan ruh Allah, bukan karena hubungan sedarah atau hubungan kepentingan memperoleh kekayaan. Demi Allah, wajah-wajah mereka cahaya. Mereka takkan merasakan ketakutan ketika banyak orang yang ketakutan dan tidak bersedih, bila ummat manusia bersedih”. Sejak hari itu aku menghadapi masalah dengan senyuman. Bayang keteduhan beliau selalu membersamaiku di saat aku gundah.

Kini, walaupun aku telah berpindah keluar kota, aku tetap rutin mengunjunginya, dua kali sepekan. Minimal sekali sepekan. Kadang, ketika rasa kangen begitu membuncah, aku mengajak anak istriku berkunjung ke rumahnya. Seringkali aku datang ke tempat yang kami janjikan sebelumnya untuk bertemu. Seringkali juga kami juga bertemu di rumahnya yang tetap asri dan menenangkan hati, walau minim tanaman.

14.01.2012

Penakluk Ribuan Hati (1)

Bagian 1: Kesan Yang Mempesona

Aku mengenalnya karena tuntutan. Waktu itu, kelompok pengajianku harus dipindah dan di “pegang” oleh beliau. Aku sebenarnya merasa canggung dan tidak enak hati. Kenapa mesti di pindah?. Kepada siapa lagi aku menghamburkan curhat-curhatku?. Akankah “orang baru” ini akan bosan dan mengantuk mendengar keluhanku?. Akankah guruku nanti ini akan merasa nyaman dengan sifatku yang meledak-ledak, penuh semangat dan selalu saja protes tentang sesuatu?. Aku tak tahu, dan sungguh merasa malas memikirkannya.

Pertemuan pertama kami terjadi pada sekitar pertengahan tahun 2002. Waktu itu ba’da subuh. Dan udara begitu dingin. Dalam perjalanan awalku dari bilangan M. Yamin (aku masih tinggal di sekretariat lama KAMMI), aku membatin; “kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh? Di udara yang begitu dingin?. Tidak adakah waktu lain?”. Tapi, karena -sekali lagi- tuntutan dan perintah dari guru pengajianku sebelumnya, aku tetap ikhlas datang sambil menunggu dan menikmati pengajian yang akan aku jalani bersama guru yang berbeda. Belakangan aku tahu, kenapa pertemuannya mesti ba’da subuh. Dan sungguh, kata “karena” itu mengagumkanku. Hingga kini.

Hari pertama aku menemui rumahnya dengan kesan yang tak berbekas. Rumahnya di bilangan Juanda, tipikal perumahan lama jaman sembilan puluhan, setengah batako, dengan halaman luas tanpa tanaman penyejuk mata. “Aih, sayangnya” dalam hatiku. Karena aku mencintai halaman rumah yang segar menghijau, aku tentu saja akan menyayangkan siapapun yang tidak menanami halaman rumahnya dengan bunga dan tanaman peneduh mata. Belakangan juga, aku nantinya akan tahu kenapa halaman rumahnya tetap di semen dan tak ditanami rumput. Walaupun memang, dua atau tiga tahun belakangan, aku dapati, rumahnya mulai rimbun dengan tanaman.

Sekitar jam enam pagi, pintu rumahnya dibuka. Lalu muncullah wajah teduhnya yang bercahaya. Kelopak matanya menghitam. “Orang ini kurang tidur” kataku dalam hati. Tapi senyumnya begitu mempesona. Suatu waktu nanti, wajah teduh bercahaya ini akan selalu aku ingat saat mengingati pesan yang indah dari cicit Rasulullah Hasan Al-Bashri, waktu ditanya; “mengapa seorang mukmin yang rutin ber-tahajjud berwajah indah?”. Lalu ulama shalih itu menjawab; “karena mereka (yang rutin melakukan tahajjud) senantiasa bermesra dengan Allah dan (karena itu) wajahnya terbasuh pancaran cahaya-Nya”.

Setelah mendapati kami di depan pintu, dengan antusias beliau mempersilahkan kami semua masuk. Pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah buku-bukunya. Tak kurang dari tiga lemari besar menghiasi dinding rumahnya, dengan dihiasi buku-buku berbagai disiplin keilmuan. Kebanyakan tentang da’wah dan Islam. “Aha, aku akan menyukai orang ini. Karena aku suka buku dan suka berdiskusi”. Itu saja alasannya. Dengan hidangan awal berupa teh hangat dan sedikit camilan, kami memulai pengajian.

Begitulah awal perkenalannya. Tapi selanjutnya, setiap pekan, hatiku diisi oleh keterpesonaan yang menggulung-gulung tak pernah berhenti. Di balik sikap kalemnya, beliau menyimpan segunung cahaya dan ribuan semangat yang tak pernah habis di bagi kepada kami atau kepada siapapun. Beriring-langkah dengan santunnya, setiap kata yang keluar di tiap pekan perjumpaan berisi renungan yang begitu dalam, begitu luas, begitu mempesona. Karena hatinya begitu tulus, beliau menjadi perajut kata-kata penuh semangat yang begitu indah. Jika saja beliau bisa menuangkan kata-katanya dalam bentuk tulisan, aku yakin, beliau akan menjadi penulis cerita motivasi yang melegenda.

Karena, dengan ramuan kesederhanaannya, beliau mampu menceritakan keindahan berjuang di jalan Allah. Perjalanan panjang itu indah. Pengorbanan itu indah. Bersaudara itu indah. Ukhuwah itu indah. Menjadi siapapun itu indah. Amanah-amanah itu indah. Kemenangan itu indah. Tangisan itu indah. Sakit itu indah. Kematian itu indah. Dan kunci keindahan itu ada di hati. Hati-lah yang membuat semua jalan da’wah nan mendaki seperti jalan lengang menuju firdaus. Kata beliau; “bagi pejuang, semua pertempuran selalu berbuah kemenangan. Tak pernah ada namanya kekalahan. Kekalahan sejati bagi pejuang itu adalah ketika ia lari dari medan pertempuran”.

Dalam perjalanan rutinitas pengajian kami, sering kali aku begitu geli tapi lalu mataku menyembab diam-diam melihatnya. Saat beliau memejamkan mata dan terkantuk-kantuk di antara tilawah pembuka pengajian kami. Aku juga tahu belakangan kenapa beliau selalu terkantuk-kantuk. Beliau hanya sempat beristirahat sekitar tiga sampai empat jam sehari, dengan alasan yang benderang. Alasan yang sama kenapa beliau dan istrinya tak sempat memelihara tanaman di halaman rumahnya. Alasan yang sama kenapa beliau hanya punya waktu ba’da subuh untuk bertemu-muka dan menyapa hati kami. Alasan yang sama kenapa beliau menyempatkan tidur di sepuluh menit sela sebelum pengajian di mulai.

Beliau tak sempat menanami halaman rumahnya dengan tanaman penyejuk mata, juga tak sempat beristirahat dengan puas seperti halnya orang lain pada umumnya. Dan beliau tak lagi punya waktu luang untuk menyapa hati kami, kecuali subuh, dan hanya hari itu. Sekali lagi, hanya hari itu. Karena beliau terobsesi akan datangnya hidayah bagi ribuan hati melalui perantaranya. Karena beliau terobsesi untuk menghadirkan sejengkal taman syurga di hati-hati yang meranggas dan nelangsa. Karena beliau terobsesi untuk meninggal dunia dalam keadaan sedang menjejakkan cita-cita mulia di dada manusia. Karena pagi hingga larut malamnya hanya beliau isi dengan puluhan pekerjaan da’wah yang ingin beliau tunaikan. Karena -seperti yang berkali-kali diungkapkan kepadaku baik saat berdua maupun saat bersama saudaraku yang lain- beliau telah ber’azzam; “istirahat bagi seorang pejuang adalah ketika ia meninggalkan dunia ini”.

Maka benarlah Imam Syahid yang mengabadikan pesannya kepada seluruh da’i di muka bumi; “beban da’wah hanya dapat diberikan oleh mereka yang memahami dan memberikan apa saja yang kelak di tuntutnya; waktu, kesehatan, harta, bahkan darah. Mereka begadang saat semua tertidur lelap. Mereka gelisah saat yang lain lengah. Seakan-akan lisannya yang suci berkata, tidak ada yang kuharap dari kalian. Aku hanya mengharap pahala Allah”.

Pesan yang bila kuingat, selalu membuatku menangis, karena kapasitas komitmenku yang masih perlu dipertanyakan di jalan da’wah ini. Karena ketangguhan jiwaku tak seperti Imam Syahid atau da’i sesudahnya seperti guruku dan para asatidz da’wah lainnya. Sering aku berdo’a kepada Allah, sambil sesekali mengingat senyum teduh guruku itu; “Ya Allah, jadikanlah jiwaku jiwa yang tangguh seperti jiwanya. Karena misi kebenaran butuh jiwa-jiwa tangguh untuk memikulnya di jalan panjang nan tak berujung ini”.

Bertahun-tahun kami bertemu muka setiap pekan, saling mengenal, menjenguk, mengira-ngira dan menyapa hati. Hubunganku dengan beliau seperti hubungan sahabat akrab yang tak terpisahkan. Aku menganggapnya ayah dan abang. Ia menganggapku adik bengal yang tak juga lurus berjalan. Diantara kami ada marah, kecewa, sabar, ketidakmengertian, kemengertian, bahu-membahu, kerjasama, senyum dan maaf.

13.01.2012