Bagian: “Waktu Perpisahan”
Aku akan menceritakan hari dan detik terakhir per-pisah-an beliau dengan kita semua; saudara-saudara terdekatnya. Aku merasa punya kewajiban menceritakan hari-hari terakhirnya, karena secara fisik, akulah orang yang paling dekat dengan almarhum di detik-detik keberangkatan menuju perjalanan abadi.
Kamis, 26 Januari pukul 18.00
Aku mendapat telpon dari Ust. Bambang Sutrisno, bahwa Ust. Nurhuda Trisula berada dalam kondisi kritis. Bersama Ustadz Masykur, beliau juga mengabarkan akan ke RS. Siloam. Aku menyambut dengan berinisiatif bersama akh Riawan menyewa mobil dan berangkat ke Balikpapan.
Di perjalanan, aku masih berdo’a dan berharap kesembuhan beliau, karena hari Ahad (22/1/2012) saat aku bersama Ust. Masykur menginap menjaga beliau, setelah bersama-sama pulang dari Jakarta, Ust. Nurhuda masih bisa batuk, menggerakkan tangan dan masih merespon kaki-nya waktu kami berdua membersihkan badannya dibantu seorang suster. Walaupun memang, tingkat kesadarannya hanya sekitar 3 sampai 4 dari skala 1 sampai 15.
Saat hari Ahad itu, kami berdua, aku dan Ust. Masykur cukup lama masuk ke dalam ruangan, Ust. Masykur sempat berkata dan mencandai Ust. Nurhuda; “Pak Nur, ayo bangun, cepetan sehat, ada saya sama BP nih”. Aku ketawa dan menangis bersamaan.
Kamis, 26 Januari, Pukul 20.30
Aku bersama Ust. Masykur, Ust. Bambang Sutrisno dikumpulkan oleh Dokter Damayanti. Kata-kata yang kuingat adalah; “Bapak-Bapak, kami dari jajaran RS. Siloam, mau menyampaikan agar semua keluarga bersiap-siap. Kami akan maksimal membantu Pak Nurhuda, dengan sekuat kemampuan kami”. Ustadz Masykur menekankan bahwa kami diberi keleluasan waktu menjenguk, terutama pada saat kritis. Dokter mengiyakan. Dalam catatanku, Ustadz Nurhuda mengalami masa kritis hingga 7 kali.
Jum’at, 27 Januari, pukul 10.50
Aku menerima sms dobel dari dua handphone istriku. Kata-katanya kutampilkan utuh;
“Td malam umi mimpi ketemu pak nur yah, beliau sehat,trus bagi2 apa gitu…semua yg liat kaget.. đŚ “.
Aku menganggap itu hanya bentuk rasa kangen istriku dan kami sekeluarga kepada beliau. Aku juga sering bermimpi duduk berdua dengan beliau di sebuah taman. Tapi itu kuanggap biasa.
Jum’at 27 Januari 2012. pukul 17.00
Aku mendapati belasan ummahat berkumpul di ruang tunggu. Kulihat juga Ustadz-ustadz masyaikh da’wah Kaltim berkumpul. Ustadz Hadi, Ustadz Zainal, Ustadz Haris, Ustadz Icha, Ustadz Syukri, Ustadz Hasanuddin dan lainnya. Semua bercerita panjang lebar tentang kisah masa lalu. Semua seperti ingin memberikan ucapan perpisahan.
Jum’at 27 Januari 2012. pukul 22.00
Dokter memeriksa Ust. Nurhuda. Kata dokter, keadaanya baik dan stabil. Kami semua lega. Semua ustadz bergiliran pamit pulang.
Jum’at 27 Januari 2012. pukul 23.00
Ust. Masykur Sarmian, Ust. Bambang Sutrisno, aku dan tiga orang ikhwah Kepanduan turun ke ruang lobby. Di luar kaca ruangan kulihat, ikhwah Kepanduan hilir mudik masuk Rumah Sakit. Jumlahnya puluhan orang. Tumben sebanyak ini, dalam hatiku. Kami yang di lobby sempat menonton berita buruh yang memblokir jalan tol. Aku menyempatkan membaca buku dan tilawah QS Al-Imron.
Sabtu, 28 Januari, pukul 2.00
Ust. Bambang Sutrisno gelisah dan bangun menuju mushola. Aku masih berbaring dengan gelisah.
Sabtu, 28 Januari, pukul 3.00
Ust. Masykur juga gelisah dan bangun untuk qiyam. Beliau sempat mengajakku, tapi aku bilang, aku qiyamullail jam 4 saja, sekalian melanjutkan Subuh baru tidur di Mushola.
Sabtu, 28 Januari, pukul 3.45
Aku menuju mushola Rumah Sakit di lantai 1 dan mendapati Ust. Masykur sholat. Bacaan dikeraskan tapi terdengar tidak tenang. Beberapa kali beliau terbata-bata melafalkan ayat-ayat Allah. Aku mendengar penuturannya di depan Ustadz Haris dan Bang Icha sekitar jam 8 kurang di pagi wafat almarhum, bahwa saat qiyam, beliau seperti mendengar gemuruh guntur dan angin kencang bersahutan.
Setelah qiyam, beliau berbaring setengah tertidur sambil menunggu waktu subuh.
Sabtu, 28 Januari, pukul 4.10
Aku tafakkur duduk di Mushola, seorang al-akh anggota Kepanduan dari Balikpapan membangunkan Ust. Masykur. Aku larang, karena aku tahu beliau letih.
Al-akh itu mengatakan; Ust. Nurhuda kritis. Aku meloncat, lari ke lift. Aku pesan; tolong ceritakan semua ke Ust. Masykur. Aku duluan menuju ruang ICU
Sabtu, 28 Januari, pukul 4.13
Di ruangan, seorang perawat sudah duduk di atas bangsal dan memompa jantung Ust. Nurhuda.
Aku masuk di antara barisan 5 perawat yang mengelilingi. Ust. Bambang Sutrisno sudah duluan berdiri dan menangis membaca talqin. Ust. Masykur masuk 5 menit kemudian. Akh Sandy Ardian menunggu di ruang sela ICU. Kami semua membaca talqin. Bersahut-sahutan.
Sabtu, 28 Januari, pukul 4.32
Detak jantung sudah berkisar 47 dan 48. Tiga kali jantungnya berhenti. Berganti-ganti perawat naik ke pembaringan dan memompa jantung Ust. Nurhuda. Mereka sungguh-sungguh berjuang.
Aku pegang kaki Ust. Nurhuda. Dingin. Aku setengah memaksa meminta perawat yang berdiri dekat kepala untuk pindah.
Kupeluk kepalanya dan kubacakan talqin tak pernah berhenti. Aku menangis keras. Ust. Masykur melarangku. “Jangan menangis. Teruslah membaca talqin” katanya. Tapi beliau menangis juga. Beliau mengeraskan juga bacaan talqin.
Sabtu, 28 Januari, pukul 4.44
Di monitor, detak jantung sudah berkisar 33. Catatan monitor jantung sudah tidak berdetak. Hilang dan muncul hingga tiga kali. Dokter memberikan suntikan pemacu jantung. Beliau saqaratul maut. Aku bacakan talqin keras-keras di telinganya. Ust. Masykur masih menggosok-gosok kaki beliau. Harapan masih menggumpal.
Sabtu, 28 Januari, pukul 4.45
Dokter berhenti setelah melihat monitor. Print out catatan terakhir alat vitalnya di lihat. Sambil melihat kami bertiga, dokter mengucapkan “Innalillah..”. Dan seterusnya aku tak mendengar lagi. Yang kudengar hanya hening. Aku peluk beliau begitu erat. Airmataku menetes di pipinya. Kubisikkan kata-kata terakhir; “selamat jalan syaikh. Selamat jalan ya mujahid”
Aku peluk almarhum begitu lama. Kucium keningnya. Wajahnya tenang. Almarhum tidur seperti bayi.
Berganti kemudian Ust. Masykur dan Ust. Bambang Sutrisno mencium beliau. Langit gelap di mata.
Ust. Masykur menyuruh aku menunggui almarhum. Beliau mengabarkan kepada saudara yang lain. Ust. Umar Farouk mengatur ikhwah yang berjaga dan bergiliran sholat subuh. Beliau juga mengatur penjemputan Mba Win.
Aku sendirian di ruangan. Dokter Eva menemuiku. Meminta opsi apakah diperbolehkan membersihkan selang, alat bantu dan membersihkan popok. Aku mengiyakan. Aku katakan, tolong auratnya tetap tertutup. Aku akan bantu mengganti popoknya. Biarlah ia terhormat seperti hidupnya. Wajahnya bersih. Aku menangis. Berkali-kali kucium dahi dan kubersihkan sisa-sisa kulitnya yang mengelupas di telinga.
Dokter memintaku mencarikan kain yang bisa dipakai untuk menutupi badan almarhum. Aku minta akh Sandi mengambil sarungnya dan sarungku. Semoga sarung kami menjadi penutup terindah almarhum
Sabtu, 28 Januari, pukul 5.15
Istri almarhum datang. Ibunda beliau hanya tertahan di pintu luar ruang ICU. Anaknya yang tersayang telah pergi mendahului. Ia begitu berat berdiri. Wanita shalihah berumur 82 tahun yang melahirkan sosok teladan ini hanya menangis sesenggukan.
Dengan menangis, Mba Win mencium dahi dan memeluk cukup lama. Kata-kata yang aku ingat; “Selamat jalan ya bi. Ilaa liqo”. Melepasnya dan menyeka air mata.
Tak pernah kulihat ketegaran sebesar itu untuk sebuah kehilangan separuh jiwa. Ia mungkin seperti sosok seorang mujahidah da’wah abad ini yang ketika mendengar suaminya ditembak, ia berkata; “alhamdulillah, ia sudah bersenang-senang di syurga-Nya”.
Kami sholat subuh dalam hening dan tangis. Kulihat dua perempuan karang itu berpelukan. Aku menangis. Ust. Masykur menangis. Semua yang ada di mushola menangis.
Setelah shalat, kami merapatkan tempat pemakaman, menjemput Adzkiya dan Naufal. Kulihat wajah almarhum melekat di keduanya. Ya Allah, betapa berat cobaan keponakanku.
Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.05
Ustadz Hadi Mulyadi datang bersama Ustadz Zainal Haq. Ustadz Hadi memeluk Ustadz Masykur. Mereka berdua menangis. Ustadz Zainal berdiri di samping almarhum. Beliau dengan bergetar dan terbata-bata menangis berkata. Kemungkinan, kata-katanya seperti ini; “kalau ingin melihat seorang mujahid teladan, lihatlah orang ini”. Beliau tak tahan untuk tak menangis.
Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.17
Setelah keputusan final mengebumikan almarhum di Samarinda, jenazah dibawa ke parkiran belakang. Kami berebut ingin mengangkat ke tandu. Di parkiran berkumpul puluhan kader Balikpapan. Ustadz Masykur dan Ustadz Hadi bergantian memberi kata sambutan sebelum keberangkatan menuju Samarinda.
Sabtu 28 Januari 2012 pukul 7.23
Aku di tugaskan menemani almarhum di mobil ambulans. Aku mendampingi sopir ambulans menuju Samarinda. Kulihat wajah empat anggota Kepanduan yang duduk di kanan kiri jenazah almarhum. Mereka bersedih tapi gurat kebanggaan terlihat jelas di muka mereka. Mereka bangga karena mengiringi perjalanan seorang shalih yang banyak memberi pengaruh pada alam jiwa nan tangguh di hidup mereka
Sabtu 28 Januari 2012 pukul 9.50
Hujan mengguyur saat mobil masuk ke Samarinda. Akh Karjono dan Akh Teguh Widodo menjemput di sekitaran Samarinda Seberang. Ikhwah Samarinda telah mempersiapkan penyambutan di rumah almarhum. Siapa yang tidak berbangga menyambut dan menyiapkan perjalanan seorang mujahid?.
Detik-detik menuju jalan depan rumahnya adalah detik penuh haru. Waktu jenazah dibuka, aku katakan bahwa jenazahnya hanya ditutupi jarik. Tolong jaga kehormatannya kataku. Beberapa al-akh berteriak “Allahu Akbar”. Allah Maha Besar kasih sayangnya pada almarhum.
Sabtu 28 Januari 2012 antara pukul
10.30-18.17
Prosesi memandikan, mengkafani dan shalat jana’iz di lakukan. Beberapa saudara terdekatnya memandikan. Semua ingin mengambil bagian dalam semua prosesi. Inilah bentuk cinta kami. Inilah bentuk cinta kami.
Beberapa koleganya datang. Tokoh-tokoh politik juga datang. Beberapa berbisik tentang kebaikan hidupnya. Siapa yang tidak terpesona dengan keteguhan, kelembutan dan kebaikannya?. Ia disegani sekaligus disayangi orang-orang. Semua orang merasa dekat.
Ikhwah berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan unsur Wilda dan DPP juga datang dengan antusias. Ikhwah yang berdiam di Masjid Darul Falihin bergerombol dan mengenang almarhum. Sebagian terisak, sebagian menyembab, sebagian menceritakan kisah-kisah lucu bersama almarhum.
Saat Shalat Jana’iz di lakukan, kulihat sepintas di belakang. Semua berdiri dengan gurat kesedihan dan kebanggaan beraduk-aduk.
Saat sambutan keberangkatan dari Ustadz Masykur, aku mendengar gemuruh tangis.
Semua ikhwah, ibu dan anak-anak berjalan beriring mengantarkan almarhum ke kuburnya. Di hati mereka pasti terbesit pertanyaan; “akan seperti apakah kami saat menghadap Illahi?. Syahidkanlah kami ya Allah, syahidkanlah kami semua ya Allah”.
Selamat jalan guru, kakak, ayahanda, saudara kami tersayang; Ustadz Nurhuda Trisula. Engkau telah membuktikan janjimu pada Allah. Sekarang giliran kami. Ilaa liqo.
Allahu Akbar !.
28-29 Januari 2012